Thursday, December 2, 2010

Yang memberi dan mengambil..



Waktu saya masih kecil dulu, suka merinding bulu kuduk ku bila memandang Gunung Sumbing diwaktu malam. Waktu itu masih belum ada lampu-lampu yang menerangi lerengnya. Nampak begitu perkasa dan hitam legam. Bagaikan sesosok tubuh raksasa yang sedang berbaring tidur. Sebaliknya dengan Gunung Merapi, yang terlihat juga dari desa nenek saya. Kalau malam puncaknya selalu bersinar merah menyala, bagaikan sesosok tubuh raksasa yang berwarna kelabu, dengan wajah merah padam. Seperti raksasa yang sedang marah, kapan saja dia bisa mengamuk tanpa diduga.

Bagi saya gunung berapi adalah sebuah wajah. Yang punya dua sifat yang saling bertentangan. Yaitu, memberi dalam kurun waktu yang lama, dan mengambilnya lagi dalam waktu sekejap. Dia memberi kesuburan dan segala sumber kehidupan, tapi sekali waktu semua itu akan dimusnahkannya kembali dengan lahar, debu dan angin panasnya. Tapi setelah itu harmoni akan tercipta lagi. Seperti lingkaran yang terus berputar.




Selama bumi terbentuk, letusan sebuah gunung dapat mengubah jalan sebuah sejarah dalam hidup manusia. Semakin dashaat dia meledak, dampaknya akan terasa semakin hebat. Bahkan sampai jauh menyebar ke lain benua. Karena dia dapat merubah iklim sehari-hari. Hingga mengakibatkan bencana kelaparan dan mendatangkan wabah penyakit menular. Dalam jangka waktu tahunan lamanya. Misalnya gunung Tambora yang meletus pada tgl 10 April 1815 di pulau Sumbawa >> prov Nusatenggara barat.

Sebuah letusan yang dashaat sekali. Seperti 4 gunung Krakatau meletus bersama-sama. Dia menyemburkan magma hingga 100 km3, menyemburkan 400km3 debu ke langit yang tingginya sampai 44 km dari permukaan tanah. Sehingga mengubur dua kerajaan sekaligus, yaitu Pekat dan Tambora. Dari 170.000 jiwa populasi yang tersisa hanya sekitar 80.000 jiwa saja. Korban letusan langsung sebanyak 48.000 jiwa dan sisanya sekitar 44.000 jiwa meninggal akibat kelaparan dan penyakit menular. Karena perubahan iklim yang berubah drastis setelah Gunung Tambora meletus.

Gunung yang meletus dengan kekuatan 6 juta kali bom atom ini, membuat dunia gonjang ganjing. Suhu di bumi turun drastis hingga menyebabkan pendinginan global. Yang dampaknya hebat sekali bagi mereka yang tinggal dibenua Europa dan Amerika yang mengenal 4 musim. Karena pada tahun berikutnya 1816, musim panas tak muncul sama sekali. Akhir musim semi berubah menjadi awal musim gugur yang dingiin sekali.

Maka panen gandum, jagung dan kentangpun gagal semua. Wabah penyakit pun merajalela. Di Britania dan Perancis, gudang-gudang gandum dijarah massa yang kelaparan hingga timbul kerusuhan dimana-mana. Tapi kekerasan yang paling parah terjadi di Swiss, yang tak punya pelabuhan sama sekali. Hingga pemerintah Swiss mengumumkan keadaan darurat Nasional. Letusan gunung Tambora menyebabkan salju berwarna coklat turun di Hongaria, dan salju berwarna merah turun di Italia, yang disebabkan oleh debu Vulkanik di Atmosfer.


Akibat letusan ini, maka jalan sejarahpun berubah. Karena Napoleon yang baru saja lolos dari pengasingannya di pulau Elba pada bulan Maret 1815, dan sempat berkuasa lagi di Perancis selama 100 hari, gerakannya pun menjadi terhambat sekali. Karena pasukan penopang Perancis dengan peralatan perangnya, lengkap dengan senjata berat, terhalang oleh lapisan lumpur tebal yang memenuhi semua jalan yang harus mereka lewati. Hingga gagasannya untuk menyerbu Brussel pun cuma jadi impian belaka. Karena bala bantuan yang ditunggunya tak kunjung tiba juga.

Akibatnya dia harus menyerah kalah kepada tentara Inggris, setelah melalui sebuah pertempuran yang seruu sekali di Waterloo. Setelah itu dia diasingkan lagi ke pulau Saint Helena dan menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang disana, sampai dia meninggal pada thn 1821. And you believe or not, ternyata kekalahan Napoleon di Waterloo itu, secara tidak langsung disebut "tangan Tuhan", lewat letusan gunung Tambora. Hingga tercatat dalam sejarah dunia yang kemudian berimpiklasi luas pada "peta bumi", termasuk system taktik dan politik pemerintah Belanda di Nusantara.

Sebuah syair yang selamat dari kerajaan Bima sempat berkisah :

"Bunyi bahananya sangat berjabuh, ditempuh air timpa habu.
"Berteriak memanggil anak dan ibu, disangkanya dunia menjadi kelabu".

BY Diana M ..>> tentang G. Tambora diambil dari arsip Wikipidia...

Sunday, August 29, 2010

Duh lelahnya kaki ini.....




Sampai kapan aku harus berjalan...
kakiku begitu nyeri dan pegal...
mengapa musibah ini datang...
disaat tubuhku tua dan renta...
oh masa muda yang gemilang...
begitu cepatnya kau menghilang....

Bagai rumahku didesa sana..
yang musnah ditelan gempa...
tinggal kenangan yang tersisa..
aku ingin pulang kawan...
tapi entah kemana...
cuma nyawaku yang masih ada...

Akhir mei 2006, by Diana M

Anak jalanan..puisi.




Kami tak pernah minta dilahirkan....
bila hidup cuma tergantung nasib...
tak kenal cinta dan kasih sayang..
tak mengerti apa itu welas asih...
tak pernah ada senyum ramah...
kami tak ada yang mau memiliki..
rumah kami di jalan-jalan kota..
dibawah hamparan tabir langit....
cuma satu yang bikin kami lega..
bila perut kami kenyang terisi...
dan tidur nyenyak dimana saja...'
tanpa ada rasa takut di hati....

medio juli 2006, Diana M

Cuma bisa pasrah sajalah......puisi




Kenapa tiap hari mesti begini kawan..
jantungku selalu berdebar kencang...
bila kami harus menyebrang kesana
lewat jembatan bambu licin dan basah...
biar aku digendong bapak yang tegar..
tapi rasa ngeriku tak pernah hilang..
emak berjalan oleng, bapak berjinjit...
hanya sungai dibawah yang jadi saksi..
betapa rapuhnya hidup keluarga ini..
dari hari ke hari tak pernah berakhir..
tapi kami cuma bisa pasrah pada takdir....
sampai kapan semua ini akan berhenti ?

by Diana Misan Juni 2006

Thursday, August 19, 2010

Karawang - Bekasi



Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil Anwar (1948)

Sunday, March 14, 2010