Thursday, August 18, 2011

Serba-serbi film kartun ..

Wednesday, August 17, 2011

Nusantara...puisi



Jangan sampai Nusantaraku yang indah tinggal kenangan..
hanya tertulis dalam buku sejarah dimasa depan nanti..
bahwa pernah ada sebuah negara yang besar dan jaya..
hancur karena ulah segelintir pemimpin yang rakus dan dengki..

Jangan sampai bumiku yang permai lenyap tak berbekas..
hanya tinggal kenangan dan legenda yang tersisa..
tak ada kebanggaan lagi yang bisa kita wariskan..
bagi anak dan cucu di masa depan...

by Diana Misan

Tuesday, August 2, 2011

Bulan puasa yang indah ...cerpen


Tak terasa kita sudah menginjak bulan puasa lagi. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Setahun bak tiga bulan saja lamanya. Apa sampeyan juga merasa, bahwa semakin kita tua waktu kian cepat juga berjalan. Time goes by so fast..and you can stop it !. Padahal rasanya seperti baru kemarin terjadi, waktu saya masih duduk dikelas 5 SD, dan menghabiskan liburan bulan puasa yang panjang dirumah eyang putri yang terletak disebuah desa yang subur dan hijau. Di bawah kaki gunung Sumbing yang biru dan megah.



Paman saya yang jadi lurah di desa itu. Tinggal bersama keluarganya di rumah eyang putri juga. Sebuah rumah joglo yang beratap tiga dan punya halaman yang luas sekali. Pamanku itu orangnya lucu, cerdas dan cekatan sekali, makanya terpilih jadi lurah juga. Sekarang saya mau bercerita, tentang hari pertama berpuasa di rumah eyang, yang sudah terjadi belasan kali dalam hidup saya, sehingga menjadi sebuah tradisi yang lumrah sekali dalam masa kecil saya yang indah.


Hari pertama bulan puasa, saya bangun siang sekali, sekitar jam 10 pagi. Maklum sehabis sahur terus sibuk bercanda dengan sepupu saya. Dua gadis kecil yang masih balita semua.

Waktu saya masuk ke ruangan depan, saya lihat paman sedang berbaring disebuah amben besar yang terletak disudut pendapa.
Wajah paman tidak secerah biasanya. Bibirnya terkatup rapat. Pasti ia sedang merindukan segelas kopi dan sebatang rokok, kebiasaan paman yang rutin setiap pagi

"Kalau lewat didepan orang bilang permisi dong !", gerutu paman waktu saya berjalan didepannya. Saya cuma tersenyum maklum. Kasihan juga melihat paman yang kelihatannya nelangsa banget. No kopi no smoking. Saya lalu duduk disebelahnya. Paman menggaruk-garuk rambut di kepalanya seperti orang kehilangan akal. "Enaknya ngapain ya..hari pertama bulan puasa kan kantor kelurahan juga tutup deh".


Saya yang sudah hafal banget dengan sifat paman, cuma diam menunggu dengan hati berdebar. "Enaknya kita jalan-jalan lihat kebun dan kolam saja deh, siapa tahu ada sayuran dan buah-buahan yang bisa dipetik untuk buka puasa nanti". Paman bangkit lalu bergegas pergi kedapur, mengambil sebuah golok yang panjang berkilat. Mirip golok pendekar sakti dari perguruan silat Kun Lun Pai saja.


Setelah berpamitan dengan orang rumah, yang menatap kami dengan pandangan yang aneh dan penuh curiga, kami berangkat sambil membawa sebuah pedati mini yang ditarik oleh seekor kambing bandot yang besar sekali.

Setelah melewati hamparan sawah yang luas , akhirnya kami sampai di jalan setapak yang terletak dipinggir kali Progo. Matahari yang terik membuat baju kami basah berkeringat. Mulutku terasa kering dilanda rasa haus yang dashaat sekali. Disaat kami memasuki ladang milik eyang yang ditanami oleh segala macam sayuran dan buah-buahan.


Ada mata air yang jernih sekali dipinggir kebun itu. Tergenang di bawah sebatang pohon beringin yang besar dan rimbun. Airnya ditampung lewat pancuran kedalam sebuah kolam kecil. Dan dari sana disalurkan lewat dua buah pipa bambu ke dalam kolam yang lebih besar, tempat paman memelihara ikan mas.


Paman langsung mendekati pancuran yang airnya mengalir jernih gemercik. Dibasahinya rambutnya, dibasuhnya wajahnya. " Ya Allah.. ya Tuhaan, segeernya...", kata paman sambil mengusap bibirnya. "Kalau gak percaya coba-in sendiri deh". Saya terus mengikuti perbuatan paman. Duuh sejuknya rasa air dingin yang membasahi rambut dan kepalaku. "Kalau airnya keminum, puasanya batal gak ya ?", tanyaku dengan hati berdebar. Ada beberapa tetes air yang masuk kedalam leherku yang kering. Paman tersenyum, "Kalau gak sengaja sih halal hukumnya ", jawab paman tenang.


Setelah itu kami bekerja giat sekali. Paman menyuruh aku memetik semua sayuran yang tumbuh disana. Termasuk daun muda yang bisa dimakan untuk lalapan. Sedang paman sendiri sibuk menjolok buah mangga, pepaya,dan petai. Juga mencabut beberapa batang pohon singkong, tiga rumpun ubi jalar. Dan menebas setandan pisang kepok.


Ditengah kesibukan yang luar biasa itu, kadang-kadang kami berlari ke pancuran. Untuk membasahi rambut dan mencuci muka kami yang basah berkeringat. Sebelum pulang paman masih sempat menangguk 3 ekor ikan mas yang besar dari kolam ikannya. Tak heran jika pedati mini yang kami bawa isinya sarat sekali. Hingga aku harus membantu mendorongnya untuk meringankan beban si Bandot.


Eyang dan bibi ternganga melihat hasil kebun yang kami bawa. " Masyaa Allaah, teriak Eyang dengan mata terbelalak. " Mau diapakan sayuran dan buah-buahan sebanyak ini ?".

Muka bibi berubah jadi pucat pasi waktu paman mengeluarkan seluruh muatan pedati mini yang diparkirnya di dalam dapur itu. Satu persatu di jejerkannya di atas lantai semen. "Ini pepaya sama mangga buat rujak ", kata paman. "Sayuran muda, ketimun dan petainya dibuat lalapan ". " Pisang, ubi dan ketela kudu digoreng dan separuhnya supaya dibikin jadi kolak manis".


Paman tersenyum, "Bayam dan jagungnya harus dimasak jadi sayur bening".

Sampai disini aku lihat eyang dan bibi menjatuhkan dirinya duduk diatas amben, dengan wajah pasrah tak berdaya. Dengan tenang paman terus melanjutkan pesannya. "Terong, pete sama cabe merahnya dibikin sayur lodeh yang peudees buanget, terus ikan masnya, yang satu digoreng dan sisanya dibikin pepesan".

Tanpa menunggu jawaban mereka paman terus menghambur keluar. "Sekarang aku mau sholat azar dulu di mesjid, terus dari sana aku mau pergi kepasar, cari duren sama kue lupis buat buka nanti".


Lepas magrib sehabis buka aku lihat paman tiduran di amben. Persis seperti pagi tadi, cuma bedanya ada rokok berasap dimulut paman. "Permisi paman numpang lewat, saya mau pergi taraweh dulu di rumah kawan ", kataku disaat melintas didepannya. Paman berdesah, " Jangan cerewet...kalau mau lewat ya lewat sajalah...perutku begaah banget.. mau goyang saja susaah banget ".


By Diana Misan