Thursday, August 27, 2009

Fur Elize...cerpen


Setiap kali memasuki hutan yang sudah jadi cagar alam milik negara itu, hatiku selalu tergetar oleh kebesarannya. Pohon-pohon yang kokoh dan tinggi berdiri rapat membisu .Bagai barisan raksasa yang berbaris tegak. Hanya daun-daunnya yang berdesah lembut. Diterpa angin pagi yang senyap. Sudah dua ribu tahun mereka tumbuh disana. Sudah sebanyak itu pula berganti daun dan ranting. Menjadi saksi bisu, yang melihat alam dan manusia disekitarnya berubah. Hanya kicau burung yang mengalahkan sepi dan hening disana. Dihutan itu, waktu bagai berhenti mengalir. Tak ada yang bergeser, tak ada yang berganti. Setiap tahun pohon-pohonnya masih selalu sama. Mereka hanya berubah menjadi gundul bila diterjang angin musim dingin. Dan daun-daunnya akan tumbuh menghijau lagi, bila musim semi tiba.

Pada sebuah pagi diawal musim panas. Aku sedang berlari ke arah hutan itu, waktu kudengar denting piano yang merdu dari sebuah rumah kecil yang asri, yang terletak di tepi sebuah jalan kecil yang kulewati. Aku penggemar musik klasik dan instrumen lagu yang yang sangat kukenal itu, Fur Elise, yang dimainkan dengan keahlian jari-jari tangan seorang pianist, membuat langkahku terhenti. Jiwaku dilanda sebuah pesona yang luar biasa. Mendengar simfoni indah yang meliuk naik turun. Begitu lembut dan romantis. Bagai rintihan sendu seorang gadis yang sedang merindukan kekasihnya yang pergi jauh.
Aku masih berdiri termanggu disaat alunan simfoni itu berhenti. Hatiku di landa sebuah perasaan haru- biru yang tak dapat kugambarkan dengan kata-kata. Dada ini terasa sesak jadinya. Tiba-tiba kulihat pintu rumah kecil itu terbuka, dan seorang lelaki tua muncul dipintu. Berjalan tertatih-tatih dibantu oleh tongkatnya, kearah sebuah kursi yang terletak di beranda. Ia menjatuhkan dirinya keatas kursi dan matanya tajam melihat ke arahku, yang masih berdiri tegak di depan pagar rumahnya. "Datanglah kemari, bila kau memerlukan diriku, jangan berdiri bengong seperti orang kehilangan akal disitu". Kudengar ia berkata dengan suara yang keras dan parau kepadaku. Aku tersenyum kepadanya. "Aku cuma berhenti untuk mendengarkan permainan pianomu barusan sir, sungguh indah nian, aku senang mendengarnya". Ia mengangguk. Bibirnya tersenyum sinis. "Rupanya kau mengerti juga sedikit tentang musik klasik anak muda, masuklah kemari, temani aku minum kopi sebentar". Aku tertawa. Sebenarnya malas untuk memenuhi undangannya. tapi ada sesuatu di wajahnya yang membuatku tak tega untuk menolak. Dengan hati segan aku membuka pintu pagar rumahnya.
Tak lama kemudian kami sudah duduk berhadapan. Angin pagi bersiur lembut. Kudengar nafas lelaki tua itu berdesah cepat, disaat ia menghirup kopinya sambil menatap mataku dalam-dalam. Aku tersenyum padanya. Lelaki itu meletakan cangkir kopinya. "Aku ingin bercerita sesuatu padamu anak muda, dengarkanlah baik-baik, jangan kau membantah atau menyela kisahku ini, karena aku ingin kau mendengar semuanya, sebelum semua kenangan ini kubawa mati tanpa sempat berbagi denganmu". Aku cuma dapat mengangguk dengan hati berat. Aku tak pernah mengenalnya. Ceritanya pasti tentang sebuah lingkaran dimasa lalunya ketika ia masih muda dulu. Yang tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan diriku. Tapi apa boleh buat. Aku sudah menerima undangannya. Minum kopinya dan duduk di depannya. Tak ada alasan untuk menghindar lagi.
"Dulu aku adalah seorang tuan besar yang berkuasa sekali di negerimu, semua pribumi berjalan membungkuk bila lewat didepanku". "Karena mereka adalah budak-budak yang bekerja di perkebunan tebu milik ku". "Hidupku seperti seorang raja kecil waktu itu". "Karena istriku tak mau tinggal di negerimu yang panas dan berdebu itu, aku bisa leluasa mengambil berapa orang selir sekaligus". "Semua kuberi rumah yang bagus, dan mereka melahirkan bayi-bayi haram yang lucu sekali karena darahku mengalir ditubuh mereka". Lelaki itu tertawa bergelak. Dan aku cuma dapat menghela nafas panjang. "Aku dapat berbuat sesuka hatiku disana, karena aku dilindungi oleh serdadu yang punya pistol dan senapan, hingga mereka semua takut dan segan padaku". "Sayang semua ini harus berakhir, karena pemerintah di negerimu telah menyita seluruh perkebunanku dan mengusirku pergi dari sana". "Sebuah perbuatan yang tak pernah dapat kumaafkan, karena mereka telah merampas semua yang kumiliki dan kubangun dengan sudah payah". "Kalau saja mereka membiarkan kami terus berkuasa disana, tentu negerimu tak akan hancur dan miskin seperti sekarang ini".

Tanpa kuminta lagi dia terus melanjutkan ocehannya. "Kulihat di tubuhmu mengalir juga sebagian darah kami, dan kalian yang berbondong-bondong datang kemari, mencari penghidupan yang lebih baik di tanah leluhurmu ini, membuat negaraku yang dulu besar dan makmur, sekarang menjadi lemah dan tak seindah dulu lagi". "Kalian kaum pendatang, seperti rombongan belalang yang rakus memakan dan menjarah apa saja yang kalian temukan". "Untung sajalah hidupku tak lama lagi, jadi tak usah aku menangis melihat kehancuran negeri ini , yang sebentar lagi berada ditangan kalian, karena darah aria kami yang asli akan semakin menipis juga, bercampur dengan darah kalian yang semakin kuat melebar di tanah ini".
Aku tersenyum. Kulihat lelaki tua itu tak berminat lagi melanjutkan ceritanya. Kami berpandangan lama sekali. Matanya yang sebiru lautan menatap tajam ke wajahku. Rambutnya yang seputih kapas bergoyang perlahan dihembus angin pagi. Aku berdiri. Kuulurkan tanganku kepadanya. "Terimakasih untuk ceritamu yang menarik itu sir, dan juga buat permainan pianomu yang indah itu, adios sir semoga kita tak akan pernah berjumpa kembali".
Tanpa menoleh lagi aku berjalan keluar.

Tiba-tiba aku mendengar lelaki itu berteriak. "Mengapa kau menyukai simfoni itu anak muda". Aku menoleh kebelakang. "Karena nenekku bernama Elise prend", jawabku sambil tertawa bergelak, "Nenek dari pihak mamaku...yang menikah dengan seorang lelaki pribumi asli". Dan aku terus berlari kearah hutan di depanku. "Pantas matamu berwarna biru, walau rambutmu sehitam arang jelaga". Kudengar lelaki itu menjerit histeris dibelakangku.
by DM.

1 comment:

  1. ceritanya baguus..untung aku gak hidup di jaman kolonial...cuma sayang yang bukan bloger gak bisa kasih comentar disini ya padahal banyak temenku yang baca loh

    ReplyDelete