Friday, September 18, 2009

Mbah Surip >> cerpen

Malam yang gelap. Gerimis turun rintik-rintik. Awan kelabu bergantung tebal, menutupi bintang-bintang di langit. Angin bertiup kencang. Menghembus air kali Progo yang coklat berbuih. Hingga nampak bagaikan seekor ular raksasa yang sedang meliuk gelisah. Dingin terasa menusuk kulit. Hingga orang lebih senang tinggal dirumah . Minum kopi manis yang hangat sambil makan ubi dan kacang rebus.

Dibawah gerimis yang turun kian deras, Mbah Surip berjalan tertatih-tatih. Sambil menggendong sebuah bakul di punggungnya, yang berisi sebilah parang yang tajam. Tubuhnya yang kurus dibalut keriput itu menggigil kedinginan. Kain dan kebayanya sudah basah kuyup tersiram air hujan. Yang bercampur dengan tetesan keringatnya sendiri. Sudah hampir sejam lamanya dia berjalan melintasi bulak-bulak sawah yang panjang yang terbentang luas di belakang desanya. Dan kini ia telah mendaki sebuah bukit kecil yang membatasi desanya dengan kali Progo .

Mbah Surip tersenyum. Membayangkan anak-anak kecil yang besok malam pasti ramai berebutan membeli gethuk singkong yang akan dijualnya disudut halaman rumah pak lurah. Yang besok malam punya hajat besar, sampai nanggap pertunjukan wayang kulit segala. Untuk merayakan hari perkawinan anak perempuannya yang paling besar. Sudah dua hari ini pemuda-pemuda di desanya giat bekerja . Membangun tenda buat tempat duduk tamu-tamu, membuat dapur darurat disamping rumah pak lurah, menyiapkan panggung untuk pertunjukan wayang kulit dan memasang hiasan janur kuning di beranda rumah pak lurah. Meskipun ia tak diundang oleh yang punya hajat, tapi hatinya merasa bungah dan riang. Karena ia bisa mencari rejeki besok malam. Jualannya pasti laris manis. Karena pasti banyak sekali orang yang datang berbondong-bondong dari desa-desa sebelah . Untuk menonton pertunjukan wayang yang pasti akan digelar semalam suntuk.

Nafasnya sudah terengah-engah disaat ia memasuki sebuah tegalan yang ditanami oleh pohon singkong. Milik orang yang tinggal jauh di seberang kali Progo. Dipilihnya batang yang paling tinggi. Sambil menurunkan bakul yang digendongnya ia menarik nafas dalam-dalam untuk mengumpulkan seluruh tenaganya. Lalu dicabutnya batang singkong didepannya itu. Terasa berat sekali. Tak bergeming sedikitpun. Didorongnya batang itu kedepan tapi cuma bergeser sedikit. Mbah Surip membungkuk. Mengambil parang dibakulnya lalu digalinya tanah disekitar batang singkong itu dengan kalapnya sampai umbinya terlihat menyembul keluar. Ia tersenyum puas. Pasti singkong yang besar-besar, pikirnya. Ia berdiri. Meluruskan punggungnya yang terasa pegal. Lalu memegang batang singkong itu erat-erat dengan kedua belah tangannya. Terus mendorongnya kedepan dengan sekuat tenaganya. Hingga tubuhnya ikut tertarik oleh pohon singkong itu yang tumbang perlahan ke tanah. Sampai Ia ikut jatuh telungkup di atas umbi-umbi singkong yang mencuat keluar. "Setan alas", jeritnya kaget. Perutnya yang jatuh menimpa umbi-umbi singkong itu terasa sakit dan ngilu sekali. Perlahan-lahan ia duduk. Sambil menekan perutnya dengan kedua belah tangannya.
Setelah sakitnya terasa reda, perlahan-lahan ia beringsut mendekati parangnya yang menggeletak didekatnya. Tubuhnya masih gemetar disaat ia berjongkok menebas umbi-umbi singkong itu lepas dari batangnya. Perlahan-lahan dibersihkannya lapisan tanah tebal yang masih melekat di umbi-umbi singkong itu. Lalu dimasukannya kedalam bakulnya satu-persatu. Jumlahnya ada 7 buah. Besar kecil . Cukup untuk membuat gethuk setampah. Jadi ia tak perlu bersusah payah lagi mencabut batang singkong yang lain. Dan mbah Surip pun tersenyum lega.

Mbah Surip melingkarkan selendangnya ke bakul di depannya, yang kini sarat berisi umbi-umbi singkong. Setelah mengikat ke dua simpul ujung selendangnya ke dadanya ia berdiri dengan susah payah. Karena menahan beban di punggungnya yang terasa berat sekali. Hingga ia berjalan dengan tubuh membungkuk. Sambil menggenggam parangnya erat-erat. Dalam perjalanan pulang ia masih tergoda untuk menebas pisang kepok sesisir di kebun pak Marto carik desanya dan memetik berapa buah jagung di ladang pak lurah. Mereka semua sedang sibuk menyiapkan hajat besar besok malam, jadi tak punya waktu untuk memeriksa ladangnya malam ini, pikir mbah Surip untuk menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Karena dia mengenal baik ke dua orang itu, hingga mau tak mau ada perasaan takut dan bersalah didalam hatinya.

Malam semakin larut. Hujan turun perlahan. Diselingi bunyi petir yang menggelegar. Hingga langit yang hitam kadang nampak terbelah lebar oleh kilatan cahaya. Dan langkah Mbah Surip pun semakin lambat juga. Punggungnya terasa pegal dan ngilu. Sedang bakul yang digendongnya terasa kian berat juga. Membuat kakinya terseok oleng kian kemari, seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Nafasnya terengah-engah. Tapi ia tersenyum lega, waktu melihat hamparan sawah yang gelap di depannya. Mulutnya komat kamit membaca doa, "Gusti Allah berilah hambamu ini kekuatan untuk berjalan sampai kerumah". Badanku lelaah sekali, aku hanya ingin berbaring sebentar di amben bambuku".

Esok paginya penduduk desa gempar. Seorang petani menemukan mayat mbah Surip terkapar ditengah galangan sawah. Seluruh tubuhnya hangus disambar petir. Didekat sebuah bakul kosong yang isinya berceceran menutupi bahunya. Singkong, jagung dan sesisir pisang kepok. Meskipun tubuhnya hitam legam, tapi wajah perempuan tua itu nampak damai dan ada seulas senyum tersungging di bibirnya yang keriput.
by DM

1 comment:

  1. inilah nasib rakyat kecil di negara kita...

    ReplyDelete