Saturday, September 12, 2009

Penggali kubur....

Tengah malam dia terbangun dari tidurnya yang lelap . Sekujur tubuhnya terasa dingin. Bulu kuduknya merinding . Seperti habis ditiup orang dari belakang. Tapi pak Wongso terus menggeliat duduk seperti biasanya. Diluar masih senyap. Belum ada ayam jago berkokok. Penduduk desa
masih tertidur lelap. Setelah mengenakan sarungnya , dia berjalan ke dapur. Lalu berjongkok didepan tungku membuat api. Setelah kayunya berasap ditiupnya dengan corong bambu. Sampai apinya merah berkobar. Dan tak lama kemudian dia sudah duduk minum kopi sambil mengunyah ubi rebus sisa kemarin.

Siapa yang mati hari ini ?, pikirnya dengan wajah penuh tanda tanya. Rasanya aku tak mendengar ada tetangga yang sakit parah. Baik didesa ini ataupun didesa sebelah. Kalaupun Dia memanggil salah satu dari mereka, pasti yang diambilnya itu orang-orang yang sudah jompo dan pikun. Terdengar ayam jago mulai berkokok bersahutan, disusul azan subuh yang mengalun riuh di udara. Dan pak Wongsopun meneguk habis sisa kopinya, lalu bangkit berdiri. Setelah mengambil paculnya dia berjalan keluar.

Seiris bulan sabit mengambang di langit. Ditemani berapa buah bintang kecil yang bersinar redup. Dinihari yang dingin. Angin bertiup pelan menggoyangkan dedauan rimbun dari pohon-pohon yang berjejer disepanjang jalan setapak yang dilewatinya. Sudah tak terhitung lagi banyaknya dia berjalan disini. Pada subuh yang dingin macam begini. Sejak dia menjadi seorang penggali kuburan seperti bapaknya dulu. Sebuah pekerjaan yang diwarisinya turun temurun dari zaman nenek moyang mereka. Yang entah sudah berapa generasi tinggal di desa itu. Jalan itu menuju ke arah sebuah bukit kecil yang terletak di belakang desanya. Tempat peristirahatan terakhir dari orang-orang yang pernah dikenalnya. Semasa mereka masih hidup. Karena mereka adalah penduduk desanya, dan desa-desa tetangganya. Setiap kali wangsit itu datang dan membangunkannya di tengah malam, dia tak pernah merasa ragu-ragu . Seperti didorong sesuatu, dia terus bangun dan pergi sepagi mungkin ke makam yang terletak di bukit itu, untuk menggali tanah yang lobangnya akan diisi oleh sebuah jenazah . Entah mayat seorang lelaki, perempuan atau anak-anak. Yang malam tadi telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Atau baru akan melepaskan nyawanya disaat pagi hari nanti . Jadi menjelang waktu sholat magrib, jenazahnya sudah bisa dikuburkan pada lubang yang sebentar lagi akan digalinya.


Matahari hampir terbit. Seberkas sinar kuning kemerahan telah pecah di ufuk timur. Menyinari lereng gunung Sumbing yang berdiri megah membisu. pak Wongso pun sudah berjalan mendaki bukit itu, yang kiri kanannya penuh dengan jejeran batu nisan yang berwarna putih atau abu-abu. Dia terus naik keatas, mencari sepetak tanah yang masih kosong. Dan didekat sebatang pohon kamboja yang banyak tumbuh berserakan di kuburan itu, dia mulai mengayunkan paculnya pada sebidang tanah yang gembur . Meskipun baru terang tanah tapi dia sudah bisa melihat makam istrinya yang terbujur didekat situ.

Sambil terus mengayunkan paculnya, sekali-kali dia melihat ke arah makam istrinya. Semasa hidupnya Warsinah adalah seorang istri yang baik. Yang telah memberinya 3 orang anak perempuan. Dua orang telah menikah dan tinggal bersama suami mereka di kota. Mereka telah memberinya berapa orang cucu juga. Sedangkan si bungsu masih lanjang dan kini tengah bekerja di Saudi Arabia. Dan si bungsu inilah yang membuat hari tuanya tenang dan mapan. Karena Murti selalu mengirim uang padanya setiap bulan. Cukup untuk hidup sehari-hari, hingga dia tak perlu lagi bekerja keras menggarap sawah orang. Dulu dia pernah kecewa karena tak punya anak lelaki yang akan mewarisi pekerjaannya sebagai penggali kubur di desa itu. Tapi dengan berjalannya waktu, rasa kecewa itu semakin pudar juga. Penggali kubur bukanlah sebuah pekerjaan yang menyenangkan. Upahnya juga cuma sedikit. Walaupun orang-orang merasa segan dan takut padanya. Karena dia dianggap dekat dengan malaikat maut. Yang selalu datang memberi wangsit setiap kali ada orang yang meninggal atau sedang sekarat meregang nyawa.




Matahari sudah muncul di bawah sana, disaat dia mengayunkan paculnya untuk yang terakhir kalinya. Lubang yang digalinya sudah cukup dalam untuk menguburkan sebuah jenazah. Dia bekerja tanpa mengaso sejenakpun. Hingga tubuhnya basah kuyup bersimbah keringat. Nafasnya terengah-engah. Dia melepaskan pacul ditangannya lalu duduk di bawah sebatang pohon beringin , didekat makam istrinya. Mulutnya terasa kering dan jantungnya berdegub kencang. Tubuhnya terasa lemas sekali. Pekerjaan ini terasa semakin berat juga, pikirnya. Tahun yang akan datang mungkin badanku sudah tak kuat lagi untuk menggali sebuah lubang kubur, Sudah waktunya aku mencari orang yang mau meneruskan pekerjaan ini. Dia menyandarkan tubuhnya ke batang pohon beringin itu, menikmati belaian angin pagi yang lembut dengan mata terpejam. Sekarang aku tinggal menunggu kabar saja, jenazah siapa gerangan yang akan masuk kedalam lubang ini.

Dan pagi itu terjadi sebuah kesibukan yang luar biasa di balai desa. Sebuah ambulans berhenti di depan balai desa. Membawa jenazah Murti anak pak Wongso, yang semalam tadi meninggal dunia. Karena mobil colt yang ditumpanginya bertabrakan dengan sebuah truk, didekat desa nya sendiri. Murti yang ingin membuat kejutan untuk bapaknya, memang sengaja tak memberi tahu bahwa dia akan pulang malam itu.


by DM

1 comment: